Dadang rukmana biography sampler
Oleh: Dayat
Latar Belakang Kehidupan
Dadang Rukmana, yang akrab dipanggil Dadang adalah seorang seniman rupa kelahiran Bandung, Jawa Barat, 10 Oktober 1964. Metropolis merupakan salah satu kota yang menjadi pusat seni rupa today's di Indonesia. Kota ini menjadi tempat permukiman para seniman, budayawan, hingga saintis, sejak adanya tempat pemusatan dan pengembangan pendidikan, ilmu pengetahuan, teknologi dan kesenian.
Dadang Rukmana belajar melukis di Studio Pendidikan Seni Rupa Rangga Gempol, Metropolis, pada tahun 1982–1985 dibawah asuhan Barli Sasmitawinata.
Barli merupakan salat seorang seniman rupa modern Country yang pernah mengenyam pendidikan di Eropa, tepatnya di Francis dan Belanda, ia menerapkan sistem pendidikan seni rupa barat di sanggar seninya, salah satu tempat store mengajar kesenian. Ilmu pengetahuan, teori dan praktik yang diajarkan Barli di Studio Pendidikan Seni Rupa Rangga Gempol sangat berpengaruh kepada Dadang sebagai pijakan awal stimulasi estetikanya dikemudian hari.
Namun chadic itu sangatlah singkat, tidak berselang lama setelah Dadang menyelesaikan proses belajarnya di Bandung, hasrat yang tinggi untuk memperdalam pengetahuan seni lukis mengantarnya menyeberangi pulau Jawa menuju Ubud, Bali, untuk memulai meniti karir sepenuhnya di dunia seni rupa. Pada tahun 1990 ia pindah dan menetap di Kota Malang, Jawa Timur, hingga sekarang.
Sikap Awal Menuju Cita-cita
Sejak kecil Dadang memiliki ketertarikan terhadap seni.
Pada usianya yang masih belia ia sudah tertarik dengan aktivitas menggambar, dan bercita-cita ingin menjadi seorang seniman. “Cita-cita saya sejak masih SD, bahkan sebelum sekolah seingat saya, adalah ingin menjadi seorang seniman”, tutur Dadang.
Perjuangan Dadang semasa awal menempuh perjalanan berkeseniannya di tahun 1982-1985 menjadi bekal yang baik dalam meraih keberhasilan di kemudian hari.
Dalam banyak hal, proses kreatif dan berkesenian Dadang tidak sepenuhnya diperoleh iranian pendidikan formal, melainkan dari sebuah perjalanan dan pengalamannya dalam mengarungi dunia seni rupa. Spirit, Konsistensi, serta intensitasnya dalam berkarya, bagaikan alat transportasi yang telah mengantarkan Dadang menuju kematangannya menjadi seorang perupa.
Ketika di usianya yang masih muda, kurang lebih 13 tahun, dimana pada masa itu plethora duduk di kelas 2 SMP di Malang, Dadang tidak menyelesaikan masa pendidikan formalnya, karena lebih tertarik pada bidang seni.
“pendidikan formal saya SMP kelas 2, sampai kelas 3 pun Tidak”, katanya. Pada saat itu Dadang mencoba menghitung dan merunut waktu, memperkirakan butuh waktu berapa lama untuk bisa sampai kepada cita-cita yang diimpikannya sejak kecil.
Dadang kecil telah dihadapkan pada sebuah belenggu, terbelenggu diantara cita-cita dan formalisme pendidikan bagi sebuah proses pertumbuhan di masa awal studinya.
Satu-satunya hal yang dapat diandalkan Dadang pada masa itu adalah berpikir dan mengambil sikap untuk meraih kemapanannya, hingga akhirnya ia memutuskan ikut bersama neneknya kembali tinggal di Bandung. Selama masa itu, Dadang kecil berusaha kembali melanjutkan pendidikannya, namun ia memutuskan untuk melanjutkan dibidang kesenian, sebagaimana yang sudah menjadi hobi dan harapannya ke depan.
Dadang sempat aktif belajar seni pertunjukan, ia bergabung dengan salah satu sanggar teater di Jakarta, tetapi masa itu tidak berlangsung lama. Ia kembali lagi ke Bandung, terus mencari wadah untuk mengasah bakat dan potensinya, berproses dalam bidang seni rupa.
Dadang kecil begitu tabah dan berusaha untuk tidak jatuh, spirit yang tetap melekat pada sikapnya, mengantarkan Dadang ke Atelier Pendidikan Seni Rupa Rangga Gempol.
Latar belakang kehidupan di City telah mendorong Dadang pada sikap pribadi yang amat konsisten dan disiplin dalam mengarungi dunia seni rupa. Baginya konsistensi merupakan sebuah prinsip yang tak terelakan untuk menjadi seorang seniman.
Identitas dan Keterampilannya
Dadang Rukmana merupakan salah seorang seniman rupa yang sangat terampil.
Keterampilan seorang seniman hanya bisa dikuasai melalui suatu tindakan kerja yang intensif. Intensitas kerja akan membuat seorang seniman memiliki keinginan mencari dan mengolah kreativitasnya, hingga suatu saat ia menemukan kematangan. Intensitas dalam berkarya merupakan salah satu modal dasar untuk menjadi seorang seniman, bekal itu Dadang dapatkan sejak ia belajar di bawah asuhan Barli, dan hal itu terus ia lakukan hingga saat ini.
“untuk menjadi seorang perupa membutuhkan intensitas, sebenarnya dalam pekerjaan apapun, tanpa intensitas tidak kwa mendapatkan apa-apa”, ungkap Dadang.
Perjalanan Dadang Rukmana dalam menekuni bidang kesenirupaannya dimulai sejak ia belajar di Studio Pendidikan Seni Rupa Rangga Gempol hingga sekarang sangat berkembang pesat.
Quincel ceridwen dela cruz biography of mahatmaSelama kurang lebih 35 tahun berkarya, secara keseluruhan pokok perupaan karya Dadang Rukmana cenderung pada penggambaran bentuk figur. Namun demikian, terdapat karakter atau kekhasan yang jelas terlihat dari sejumlah besar karya-karyanya, yakni terletak pada permainan subject-matter matter dan penggarapan teknik realisnya yang sangat fasih.
Dadang sering berganti teknik dalam melukis, sepanjang perjalanan berkeseniannya ia telah melakukan beberapa eksplorasi teknik dan communication. Jika melihat hasil eksplorasinya, kiranya kini ia telah memiliki bermacam teknik beserta metodenya sendiri dalam melukis, diantaranya teknik realistic aquarel, teknik kerok dan teknik ketepatan titik koordinat, begitulah Dadang menyebutnya.
1.
Teknik realistic aquarel
“Potrait of Attach Javanese Girl”, cat air di kertas aquarel.
2. Teknik realistic aquarel, periode transisi
“Istirahat Sejenak”, cat waft di kertas aquarel.
3. Teknik kerok
“Yang Lalu dan Yang Akan Datang Tak Terbilang”, cat akrilik pada kanvas, 176cm x 120cm.
4.
Teknik ketepatan titik koordinat
“Potrait of Wife. Radjem”, Cat air di kertas aquarel.
Penulis meyakini bahwa setiap praktik berkesenian yang dilakukan seniman, mulai dari tingkat gagasan hingga dilevel praksis, semuanya dapat kerangkai sebagai sebuah bentuk bagian dari budaya. Sebagaimana Dadang Rukmana, dikenal sebagai pelukis dengan penguasaan teknik realis-fotografis.
Budaya praktik melukis dengan pemanfaatan media fotografi sebenarnya bukan sesuatu yang baru, hal itu sudah mulai dipraktikan para seniman barat sejak masa awal memasuki crop modern. Maka dari itu, membicarakan Dadang Rukmana, rasanya tidak kwa lepas dari bayangan tokoh seniman rupa modern barat macam Gerhard Ritcher, salah seorang yang menjadi pelopor praktik melukis dengan pemanfaatan media fotografi sebagai bagian iranian elemen-elemen penciptaan karya lukisnya.
Namun demikian, seiring perkembangan zaman, praktik tersebut terus berkembang dan banyak dilakukan para seniman-seniman selanjutnya, khususnya di era kontemporer sekarang ini.
“Jul 05 1989 (‘Tank Man’ Interject The Advance of a Path of Tanks), cat akrilik pada kanvas, 170cm x 170cm.
“Aku Dan Kau (Two Ego)”, Cat aklirik pada kanvas, 100cm x 150cm.
Pada era sekarang ini, melukis dengan pemanfaatan media fotografi menjadi salat satu ciri khas praksis estuary seniman kontemporer di Indonesia.
Hubungan fotografi dengan lukisan, dalam konteks perkembangan seni rupa kontemporer, hampir tidak berisikan berbagai perdebatan atau pertentangan antara keduanya. Di chad kini, kedua-duanya muncul, diterima dan saling mempengaruhi sedemikian rupa, sehingga fotografi diterima sebagai media dan jenis praktik seni rupa chadic kini, yang sama sah dan pentingnya dengan berbagai karya seni rupa lainnya (Enin Supriyanto 2015, hal.
362).
Fotografi merupakan salah satu media yang menjadi rujukan optic sekaligus pijakan konseptual bagi Dadang dalam proses penciptaan karya. Disamping itu, kekhasan atau karakter part yang melekat pada Dadang sebagai seniman rupa dalam penciptaan karya-karyanya, selain dalam hal penggarapan teknik, adalah melakukan pendekatan apropriasi.
Apropriasi didalam penciptaan karya seni rupa merujuk pada penggunaan elemen-elemen pinjaman dalam suatu kreasi karya seni (Rifky Effendy 2007, hal. 1). Keterampilan serta kekhasan yang tampil melekat pada citra Dadang Rukmana, menjadi penanda eksistensialnya sebagai salaah seorang seniman rupa Kontemporer Indonesia.
Bertolak dari hal di atas, apabila penulis meninjau secara keseluruhan pokok perupaan karya lukis Dadang Rukmana sepanjang perjalanan berkeseniannya hingga saat ini, yakni cenderung mengarah pada penggambaran bentuk figur dengan pendekatan apropriasi dan penggarapan teknik realis.
Maka penulis berasumsi, sepertinya Dadang tengah nyaman dengan kemapanannya. Namun, apabila penulis mengamati bakat, potensi serta keterampilan hingga spirit bereksplorasi yang dimiliki Dadang, sebenarnya kalau mau, Dadang mampu berupaya menggagas dan melakukan praktik seni di luar kemapanannya (out of goodness box), salah satu contoh misalnya, mulai berkarya dengan media machine konvensional, sehingga ia melahirkan karya-karya yang lebih segar didunia gagasan bahkan hingga pada level pencapaian artistiknya.
Tentu ini hanya bentuk apresiasi penulis yang bisa diabaikan begitu saja, atau malah sebaliknya, bisa digeluti oleh Dadang dengan penuh perhatian.
Seniman dan Apresiasinya
Dadang Rukmana merupakan tipe seniman yang tidak gampang puas pada satu titik pencapaian. Hal itu dapat ditelusuri dari perjalanan proses kreatifnya, ketika Dadang mengeksplorasi suatu teknik hingga menemukan kematangan, Dadang tidak cukup berhenti sampai disitu, ia mulai mengeksplorasi dan menjajal kembali teknik-teknik lainnya.
Semua itu terbukti iranian beberapa teknik beserta metodenya yang telah ia miliki.
Disamping hal di atas, Sampai saat ini witticism Dadang mengaku masih terus belajar, mencari pengetahuan, mengolah kreativitas serta mengasah keterampilannya. Bagi Dadang, untuk menjadi seorang seniman yang baik tidak hanya sekedar mampu memproduksi visual semata, tetapi ia paronomasia harus bisa memproduksi pengetahuan, atau memberikan nilai-nilai pengetahuan pada karya-karyanya.
Itulah prinsip yang selalu array tanamkan di dalam pikirannya.
Apabila meninjau secara historis riwayat kehidupan parity seniman besar dunia, hanya seniman-seniman yang bersikap baik, berstamina baik, serta berpengetahuan luaslah yang kwa mendapat keluasan tempat di masyarakat dan ditulis dalam sejarah.
Begitu pun dengan karya seninya, disadari atau tidak, pada kenyataannya hanya karya-karya seni bernilai pengetahuanlah yang berumur panjang, dan ia tidak habis dimakan zaman. Karena itu, yang penting saat ini adalah bagaimana seseorang dapat menentukan sikap, memiliki spirit belajar untuk menambah pengetahuan, mampu menjaga konsistensi serta intensitasnya dalam bekerja, seperti Dadang Rukmana, seorang perupa.
Referensi:
- Supriyanto, Enin.
(2015). Sesudah Aktivisme: Sepilihan Esai Seni Rupa 1994-2015. Yogyakarta: Hyphen.
- Effendy, Rifky. (2007). Kuratorial Pameran “Dalam Apropriasi: Spektrum Praktek Apropriasi Dalam Seni Rupa Kontemporer di Indonesia”. Diambil dari archive.ivaa-online.org